Kamis, 08 Januari 2015

Bertafakur Dalam Kehidupan


أ لًََمَْ تََّفَنَّسُ اً فِ أوفُعِيِمْ مَا خَلقََ الَّلوُ العَّمَا اًَتِ اًَلْأَزْضَ مًََا ب نََْْيُمَا إلِاَّ باِلحَْقِّ أًََجَلٍ مُّعَمًّ إًَنَِّ مَثِيرًا مِّهَ النَّاضِ بلِِقَاء زَِّبيِمْ
﴾ لنََافِسُ نًَ ﴿ ٨
Dan mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka?, Allah tidak menjadikan
langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar dan
waktu yang ditentukan. Dan sesungguhnya kebanyakan di antara manusia benar-benar ingkar akan
pertemuan dengan Tuhannya. (QS. Ar-Rum : 8)

Terdapat beberapa hikmah yang dapat dipetik dari ayat di atas, diantara hikmah-hikmahnya adalah
sebagai berikut :

1. Bahwa banyak manusia yang terlena dengan kehidupannya sehingga mereka “lupa”
akan tujuan utamanya menjalani kehidupan di dunia yang serba fana. Kebanyakan
manusia hidupnya diwarnai dengan segitiga materialisme ; kantor (pekerjaan), rumah (istirahat)
dan mall (tempat bersenang-senang). Mereka bekerja dengan tujuan hanya mengejar kehidupan
dunia; uang dan karir semata. Kemudian mereka makan, hanya untuk memenuhi kebutuhan
jasmaninya saja. Mereka juga bersenang-senang di tempat-tempat yang menurut mereka
menyenangkan; mall, tempat hiburang dsb. Keadaan mereka yang terperangkap dalam segitiga
materialisme ini “disindir” oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an bahwa mereka tak ubahnya seperti
hewan ternak yang menjalani kehidupan di dunia :

إنَِّ اللوََّ دُّْخِلُ الرَِّهَّ آمَنُ اٌ عًََمِل اٌُ الصَّالحَِاتِ جَنَّاتٍ تجَْسِ مِه تحَْتِيَا الْأَْويَازُ اًَلرَِّهَّ مَفَسُ اً تََّمَتَّوُ نٌَ أًََّْمُل نٌَُ مَمَا تأَْمُلُ الْأَووَْا اًَلَّنازُ مَثْ ﴾ لَّيُمْ ﴿ ٢١
Sesungguhnya Allah memasukkan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh ke dalam
surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Dan orang-orang yang kafir itu bersenang-senang (didunia) dan mereka makan seperti makannya binatang-binatang. Dan neraka adalah tempat tinggal
mereka. (QS. Muhammad : 12)

2. Kondisi kebanyakan manusia yang seperti itu, tak ubahnya seperti orang yang lupa
dengan arah dan tujuan hidupnya. Mereka terlalaikan dan tergila-gila dengan kehidupan
dunia, yang pada hakekatnya hanyalah merupakan “sarana” (baca ; fasilitas) untuk menggapai
kehidupan yang hakiki nan abadi di akhirat sana. Ibarat orang yang berlayar di tengah lautan
menuju sebuah kepulauan, namun justru ia asyik dengan perahunya dan tidak pergi menuju
pulau yang ditujunya. Allah SWT mengingatkan kita :

اًَبْتَغِ فِ مَْا آتاَكَ اللوَُّ الدَّازَ ا خِْٓسََة لًَاَ تنَطَ وصَِ بَْلَ مِهَ الدُّو اَْْ أًََحْعِه مَمَا أحْعَهَ اللوَُّ إلِ لََْْ لًَاَ تبَْغِ اْلفَعَادَ فِ الْأَزْضِ إنَِّ اللوََّ لاَ حُِّبُّ المُْفْعِدِهَّ
﴾٧٧﴿
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan
janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (keni`matan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (QS. Al-
Qashas : 77)

3. Untuk melepaskan diri dari “kelupaan” seperti itu, manusia perlu waktu untuk
merenung dan bertafakur tentang hakekat kehidupannya di dunia ini. Perenungan seperti
ini sangat penting, guna melihat dan meraba tentang hakekat yang ada. Perenungan tersebut
adalah tafakur. Tafakur berasal dari kata tafakara, yang berakar kata fakara yang berarti
merenungkan dan memikirkan sesuatu:

التَّ فَكُّرُ مَصْدَرٌ مِنْ تَ فَكَّرَ – ي تََ فَكَّرُ – تَ فَكُّرًا ، مُشْتَقٌ مِنْ فَكَّرَ أَيْ فَكَّرَ فِِ اْلأَمْرِ
Dari segi istilahnya, tafakur adalah bagaimana kita sebagai seorang hamba yang tiada daya tiada
kekuatan, menyadari akan besarnya serta agungnya ciptaan Allah SWT dengan cara merenungi
(baca; mentadaburi) ayat-ayat kauniyah yang terdapat di sekeliling kita, baik yang bersifat
internal dalam diri kita, maupun yang eksternah dari diri kita, yang pada akhirnya dapat
mendekatkan diri kita kepada Allah SWT. Karena kalau kita mau menyadari, ternyata bertafakur
merupakan sebuah kenikmatan yang sangat luar biasa, yang Allah berikan pada hamba-hamba-
Nya yang dikehendaki-Nya. Betapa banyak orang-orang yang jauh dari Allah, kemudian dapat
kembali pada jalan-Nya karena adanya tafakur yang dilakukannya. Bahkan dalam al-Qur’an
banyak sekali kata-kata tafakur yang Allah pergunakan. Hal ini menunjukkan betapa tafakur
memiliki nilai yang sangat penting di mata Allah SWT.
Allah berfirman (QS. Al-Mulk : 3-4)

الرَِّ خَلقََ ظَبْعَ ظَمَا اًَتٍ طِبَاقاً مَّا تسََ فِ خَلقِْ السَّحْمَهِ مِه تفَا تًٍُ فَازْجِعِ البَْصَسَ ىَلْ تسََ مِه فُطُ زٌٍ ﴿ ٣﴾ ثمَُّ ازْجِعِ البَْصَسَ مَسَّت هَِْْ نقَلبِْ
﴾ إلِ لََْْ البَْصَسُ خَاظِأً ىًَُ حَعِيرٌ ﴿ ٤
“Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis, kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang? Kemudian pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu cacat dan penglihatanmu itupun dalam keadaan payah.”

4. Selain urgensi sebagaimana dijelaskan di atas, takafur juga memiiki urgensi lain yang
sangat penting bagi setiap muslim, diantaranya adalah :

a. Bertafakur terhadap kebesaran Allah melalui ciptaan-Nya, berarti talah malaksanakan
perintah Allah SWT. Karena tafakur merupakan perintah Allah. Sebagai contoh, Allah
mengatakan dalam Al-Qur’an (QS. Ar-Ruum : 8) : Dan mengapa mereka tidak memikirkan
tentang (kejadian) diri mereka?, Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada di
antara keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar dan waktu yang ditentukan. Dan
sesungguhnya kebanyakan di antara manusia benar-benar ingkar akan pertemuan dengan
Tuhannya.

b. Mentafakuri kebesaran Allah merupakan salah satu ciri orang yang beriman. Allah SWT
berfirman dalam Al-Qur’an (QS. Ali Imran : 190 – 191) : “Sesungguhnya dalam penciptaan
langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orangorang
yang berakal. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk
atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi
(seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha
Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.

c. Dengan mentafakuri penciptaan Allah, akan mempertebal dan memperkuat keimanan kepada
Allah SWT. Sebagai contoh Allah memberikan pertanyaan kepada insan yang kufur terhadap
Allah, dalam beberapa ayat-Nya (QS. An-Naml : 60): “Atau siapakah yang telah menciptakan
langit dan bumi dan yang menurunkan air untukmu dari langit, lalu Kami tumbuhkan dengan
air itu kebun-kebun yang berpemandangan indah, yang kamu sekali-kali tidak mampu
menumbuhkan pohon-pohonnya? Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)? Bahkan
(sebenarnya) mereka adalah orang-orang yang menyimpang (dari kebenaran).

d. Tafakur juga akan mendatangkan rasa kekerdilan jiwa kita di hadapan Allah SWT yang Maha
Segalanya, yang sekaligus akan menghancurkan fenomena kesombongan dalam jiwa kita.
Allah SWT menggambarkan (QS. Al-Jatsiyah : 13) “Dan Dia menundukkan untukmu apa
yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah)
bagi kaum yang berfikir.”

e. Dengan tafakur seseorang akan dapat memahami hakekat kehidupan dunia. Allah berfirman
dalam salah satu ayatnya (QS. Yunus : 24)

إِومََّا مَثَلُ الحَْ اَْة الدُّو اَْْ مَمَاءٍ أوصَْلنَْاه مِهَ العَّمَاءِ فَاخْتَلطََ بوِِ وبََاتُ الأَزْضِ مِمَّا أَّْمُلُ النَّاضُ اًَلْأَووَْا حَتَّ إذَا أخَرَتِ الأََزْضُ شُخْسُفَيَا
اًَشَّنََّّتْ ظًََهَّ أىَُْليَا أَّويُمْ قَادِزُ نًَ عَل يََْْا أتاَىَا أمْسُواَ ل لَْْا أ ويَاز ا فَجَوَلنَْاىَا حَصِ دْ ا مَأَنْ لمَْ ت هََْْ بالأَمْطِ مَرَللَِ وفَصِّلُ آَّتِ لقَ تََّفَنَّسُ نًَ
“Sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi itu, adalah seperti air (hujan) yang Kami
turunkan dari langit, lalu tumbuhlah dengan suburnya karena air itu tanam-tanaman bumi, di
antaranya ada yang dimakan manusia dan binatang ternak. Hingga apabila bumi itu telah
sempurna keindahannya, dan memakai (pula) perhiasannya, dan pemilik-pemiliknya mengira
bahwa mereka pasti menguasainya, tiba-tiba datanglah kepadanya azab Kami di waktu malam
atau siang, lalu Kami jadikan (tanaman tanamannya) laksana tanam-tanaman yang sudah disabit,
seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda
kekuasaan (Kami) kepada orang-orang yang berfikir.”

Wallahu A’lam bis Shawab
By. Rikza Maulan, Lc., M.Ag

Tidak ada komentar:

Posting Komentar