
“Katakanlah (wahai Muhammad) Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku, hanya untuk Allah, Tuhan semesta alam”
(Q.S. 6: 162).
Umar bin Khathab biasa menghabiskan sebagian malamnya untuk meronda, melihat kondisi umat yang dipimpinnya dari dekat. Tak terasa malam terus beranjak. Fajar pun mulai terkuak. Ketika melewati sebuah gang, tiba-tiba ayunan langkahnya tertahan. Dari bilik sebuah rumah kecil, ia mendengar seorang ibu sedang bercakap dengan putrinya.
“Tidakkah kau campur susumu? Hari sudah menjelang pagi,” kata ibu itu kepada anaknya.
“Bagaimana mungkin aku mencampurnya. Amirul Mukminin melarang perbuatan itu,” sahut si anak.
“Orang-orang juga mencampurnya. Campurlah! Amirul Mukminin tidak mengetahuinya,” balas sang ibu.
“Jika Umar tidak melihatnya, Tuhan Umar melihatnya. Aku tidak mau melakukan karena sudah dilarang,” jawab si anak yang sungguh menyentuh hati Umar. Kelak, dari rahim si anak ini terlahir Umar bin Abdul Aziz, yang sering disebut khalifah kelima setelah Ali bin Abu Thalib karena keadilannya.
Nukilan kisah di atas menunjukkan betapa berbeda bekerja untuk kerja (mencari nafkah) dan bekerja untuk ibadah. Yang pertama, akan cenderung meng-halalkan segala cara untuk tujuan mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya. Sedang yang kedua, melihat hasil yang baik hanya diperoleh dengan cara yang baik, yakni cara-cara yang dibenarkan Allah. Mungkin keuntungan yang diperolehnya memang tidak banyak, tapi berkah.
Bekerja (dalam hal yang tak dilarang Allah) adalah bagian dari amal ibadah ghairu mahdhah. Yaitu, ibadah yang tidak secara eksplisit diatur tata caranya oleh syariah. Bekerja yang dengan niat ibadah, kini menjadi barang langka. Kebanyakan orang menempatkan aktivitas kerja sekadar dalam cakupan untuk meng-hasilkan uang sebagai pemenuhan kebutuhan hidup. Tentu tidak demikian.
Bekerja, kata K.H. Abdullah Gymnastiar, semestinya menjadi sarana ibadah kita. Kita per-sembahkan yang terbaik dalam pekerjaan kita bukan karena ingin mendapat uang yang banyak, melainkan inilah bentuk pengabdian kita dalam hidup. Prestasi kita adalah mempersembahkan yang terbaik, bukan mendapatkan yang terbaik.
Maka sedari mula, ketika kaki hendak dilangkahkan menuju tempat kerja, niat untuk ibadah itu harus terpatri. Bahwa kita akan mempersembahkan yang terbaik. Kalau menjadi akuntan, akan jujur dalam membuat laporan keuangan. Kalau pedagang, tidak mengurangi timbangan. Kalau hakim, tidak akan main mata dengan terdakwa. Dan kalau bankir, tidak menerima hadiah apa pun dari nasabah yang difasilitasi pembiayaan.
Kerja benar-benar untuk ibadah. Kerja sebagai cerminan tanggung jawab menggunakan detik per detik, menit per menit, dan jam per jam waktu yang diberikan Allah untuk segenap aktivitas yang diridhai-Nya. Tujuan-tujuan duniawi yang hendak diraih dengan bekerja, tidak melupakannya dari ketaatan kepada Allah.
Karena menjadi ibadah, bekerja tak lagi sebatas karena dorongan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Tetapi, yang jauh lebih penting dari itu adalah meningkatkan kualitas pekerjaannya. Seorang yang beriman tidak akan menyelesaikan pekerjaannya secara asal-asalan. Apalagi, dia berlaku seenaknya, melakukan kecurangan, atau bahkan korupsi. Sebab, seperti dalam kisah yang kita nukilkan di muka, meskipun atasan mereka tidak melihat secara langsung, tapi Allah Maha Mengawasi hamba-hamba-Nya.
Selain harus dengan kesungguhan, pekerjaan itu perlu ditunaikan dengan ikhlas. Ikhlas menjadi etos kerja khas dalam Islam. Tanpa nilai keikhlasan, kerja yang bernilai ibadah tidak akan mendatangkan pahala dan keberkahan Allah. Allah mengingatkan,
”Dan mereka (jin dan manusia) tidak disuruh beribadah kepada Allah, melainkan dengan penuh keikhlasan karena-Nya dalam menjalankan agama yang lurus.” (Q.S. 98: 5)
Sering kali pekerjaan sudah kita tunaikan dengan baik, tidak diapresiasi oleh pimpinan. Kedongkolan atau bahkan sumpah serapah kadang tertumpah. Namun yang seperti ini tidak terjadi pada diri orang yang ikhlas. Baginya, pimpinan bisa saja lalai, tapi Allah tidak pernah melalaikan sekecil apa pun amal kebaikan yang telah dikerjakannya.
diambil dari buku Best Seller :
The Celestial Management
by: A.Riawan Amin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar